Jumat, 05 Juni 2009

'REPUBLIK MIMPI' Dibahas di Konferensi TV Internasional

Program acara televisi REPUBLIK MIMPI mencuri perhatian dan menjadi salah satu program televisi yang didiskusikan pada International TV Conference ke-32 di Warsawa, Polandia.

Penggagas program tersebut, Effendy Gazali, dalam keterangan pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu (16/5), menjelaskan program yang berisikan acara pembahasan perkembangan politik terkini Indonesia dalam format parodi itu mendapat penilaian dari berbagai kalangan yang berkecimpung di sektor pertelevisian internasional.

"Ada dua topik menonjol pada konferensi tahun ini, yaitu, Television in Public Interest and Televising Modern Society. Konferensi ini juga memutar dan mendiskusikan program-program TV yang dianggap berpengaruh, inovatif, dan berkualitas dari seluruh dunia. Umumnya yang terpilih oleh para shopsteward (semacam juri) adalah program-program dari TV Publik yang memang lebih ditujukan utk meningkatkan kualitas hidup publik," katanya.

Ia menambahkan, selama 32 tahun konferensi ini, Program TV Indonesia baru pada 2009 dapat ikut serta. Program REPUBLIK MIMPI, yang merupakan rangkaian perjalanan parodi politik tersebut, dalam diskusi itu diputar utuh 70 menit dan didiskusikan pada sesi hari Selasa (12/5), sejak pukul 14:00 hingga pukul 18:00 waktu setempat.

"Ratusan pengamat dan kritikus serta produser berikut artis-artis TV dari berbagai penjuru dunia terlibat diskusi yang seru dan sangat supportive," katanya.

Effendy menjelaskan, pada umumnya mereka meyakini bahwa program seperti REPUBLIK MIMPI akan meningkatkan political efficacy warga negara dan khususnya anak-anak muda. Hal tersebut diyakini oleh pengamat dari Amerika dan Eropa Barat.

Tetapi, pemerhati TV dari Australia prihatin dengan peniruan acara REPUBLIK MIMPI tanpa izin (copy cat), bahkan mereka mempertanyakan soal pelanggaran hak cipta di Indonesia.

"Hal tersebut menurut mereka akan menurunkan kualitas genre program ini karena dikerjakan seadanya," tuturnya.

Effendy Gazali pada kesempatan tersebut mengucapkan terima kasih pada berbagai stasiun TV seperti Indosiar, Metro TV, TV One, ANTV, dan RCTI yang pernah memberi kesempatan tampil REPUBLIK MIMPI.

"Sayangnya, sampai saat ini di tempat kami program ini sering diterima dengan rasa khawatir oleh pemilik TV dan pemasang iklan. Lainnya memilih sinetron sepanjang hari. Atau ada juga yang mencuri hak cipta kami," ujar Effendy.

Selain Indonesia, program TV lain dari Asia yang terpilih untuk diputar dan didiskusikan tahun ini berasal dari Korea.


kapanlagi

PENGARUH TELEVISI PADA PERILAKU ANAK


Oleh; Imron Hamzah

Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Univ. Yudharta Pasuruam


ABSTRAK

Televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 % setelah 3 hari kemudian. (Dwyer)

Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa.

Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari keluarga harmonis lebih memiliki benteng/penangkal dalam menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan acara yang tepat.

PENDAHULUAN

Mungkin kita masih ingat sebuah SMU di Colorado Amerika Serikat dibanjiri darah 25 siswanya. Mereka tewas dibantai dua siswa yang berulah seperti Rambo. Dengan wajah dingin tanpa balas kasihan, mereka memberondong temannya sendiri dengan timah panas. Kejadian ini sungguh menggemparkan dan banyak pakar yang menuding tayangan kekerasan di televisi atau komputer (game dan internet) sebagai biangkerok tindak kekerasan yang terjadi di kalangan anak.

Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sekitar satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab membanjirnya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya adalah anak-anak muda.

Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru saja nonton film cowboy di layar televisi, lalu berlari ke halaman rumah kemudian berguling-guling dan berteriak "dor dor.. dor... sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di pegangnya. Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang kurang pas dilontarkan mereka menirukan idolanya di TV. Begitu pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis, sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon, Satria Baja Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan kondisi seperti ini dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka membuat busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan hasilnya sangat digemari anak-anak.

Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza, hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa (bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih mengkha-watirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau mengerjakan pekerjaan rumah dari gurunya.

Memang televisi semakin dekat dengan anak. Banyaknya pilihan acara yang disuguhkan dari berbagai stasiun televisi, membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-acara khusus untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-acara Sabtu dan Minggu pagi hampir semua stasiun TV menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi kesibukan para orang tua pada pekerjaaanya serta makin hilangnya budaya dongeng orang tua saat pengantar tidur. Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka yang setiap saat mereka bisa menyaksikannya. Tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana potensi media televisi dan dampaknya terhadap perilaku anak serta konstribusi faktor keluarga dalam menagkal gencarnya siaran televisi tersebut.

PEMBAHASAN

Potensi Media Televisi

Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan perilaku masyarakat? terutama pada anak-anak. Menurut Skomis, dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar, majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan gambar hidup (gerak/live) yang bisa bersifat politis, bisa, informatif, hiburan, pendidikan, atau bahkan gabungan dari ketiga unsur tersebut.

Ekspresi korban kerusuhan di Ambon misalnya, hanya terungkap dengan baik lewat siaran televisi, tidak lewat koran ataupun majalah. Ratapan orang kelaparan di Ethiophia, gemuruhnya tepuk tangan penonton sepak bola di lapangan hijau, hiruk pikuknya suasana kampanye di bunderan Hotel Indonesia, tampak hidup di layar televisi.

Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) untuk menyampaikan pesan. Karena media ini dapat menghadirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas (broadcast) dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan. Melalui stasiun televisi, kerusuhan di Ambon dapat diterima di Banda Aceh dan di Jayapura dalam waktu bersamaan. Begitu pula acara pertandingan AC Milan melawan Juventus di Italia dapat langsung dinikmati pemirsa RCTI di Indonesia. Sungguh luar biasa, infomasi/kejadian di belahan bumi sana bisa diterima langsung di rumah. Televisi bisa menciptakan suasana tertentu, yaitu para penonton dapat melihat sambul duduk santai tanpa kesengajaan untuk menyaksi-kannya Memang televisi akrab dengan suasana rumah dan kegiatan penonton sehari-hari.

Dari segi penontonya, sangat beragam. Mulai anak-anak sampai orang tua, pejabat tinggi sampai petani/nelayan yang ada di desa bisa menyaksikan acara-acara yang sama melalui tabung ajaib itu. Melalui beberapa stasiun mereka juga bebas memilih acara-acara yang disukai dan dibutuhkannya. Begitu pula sebagai media hiburan, televisi dianggap sebagai media yang ringan, murah, santai, dan segala sesuatu yang mungkin bisa menyenangkan.

Televisi dapat pula berfungsi sebagai media pendidikan. Pesan-pesan edukatif baik dalam aspek kognetif, apektif, ataupun psiko-motor bisa dikemas dalam bentuk program televisi. Secara lebih khusus televisi dapat dirancang/dimanfaat-kan sebagai media pembelajaran. Pesan-pesan instruksional, seperti percobaan di laboratorium dapat diperlihatkan melalui tayangan televisi. Televisi juga dapat menghadirkan objek-objek yang berbahaya seperti reaksi nuklir, objek yang jauh, objek yang kecil seperti amuba, dan objek yang besar secara nyata ke dalam kelas.

Keuntungan lain, televisi bisa memberikan penekanan terhadap pesan-pesan khusus pada peserta didik, misalnya melalui teknik close up, penggunaan grafis/animasi, sudut pengambilan gambar, teknik editing, serta trik-trik lainnya yang menimbulkan kesan tertentu pada sasaran sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

Memang kekuatan televisi menurut Kathleen Hall Jamieson sebagai dramatisasi dan sensasionalisasi isi pesan. Begitu pula menurut pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat (1991), gambaran dunia dalam televisi sebetulnya gambaran dunia yang sudah diolah. Dalam hal ini Jalaludin Rakhmat menyebutnya sebagai Tangan-tangan Usil. Tangan pertama yang usil adalah kamera (camera), gerak (motions), ambilan (shots), dan sudut kamera (angles) menentukan kesan pada diri pemirsa.

Tangan kedua adalah proses penyuntingan. Dua gambar atau lebih dapat dipadukan untuk menimbulkan kesan yang dikehendaki. Sinetron Jin dan Jun di RCTI misalnya, seolah-olah mereka bisa masuk ke dalam tembok, berjalan di angkasa, berlari-lari di atas air, atau bisa menghilang. Adegan memenggal kepala orang, bertarung di angkasa dan bentuk adegan lainnya yang tidak lazim dilakukan dalam kehidupan, merupakan hasil ulah editor dalam proses penyuntingan.

Tangan ketiga adalah ketika gambar muncul dalam layat televisi kita. Layar televisi mengubah persepsi kita tentang ruang dan waktu. Televisi juga bisa meng-akrabkan objek yang jauh dengan penonton. Seorang penonton sepak bola di rumahnya berteriak kegi-rangan ketiga Ronaldo (Inter Milan) memasukan bola ke gawang Juventus. Memang televisi bisa menjadikan komunikasi inter-personal antara penonton dengan objek yang ditonton. Perasaan gembira, sedih, simpatik, bahkan cinta bisa terjalin tanpa terhalang oleh letak geografis nan jauh di sana. Tangan keempat adalah perilaku para penyair televisi. Mereka dapat menggaris-bawahi berita, memberi-kan makna yang lain, atau sebaliknya meremehkannya. Mereka mempunyai posisi stategis dalam menyampaikan pesan pada khalayak.

Besarnya potensi media televisi terhadap perubahan masyarakat menimbulkan pro dan kotra. Pandangan pro melihat televisi merupakan wahana pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai positif masyatrakat. Sebaliknya pandangan kontra melihat televisi sebagai ancaman yang dapat merusak moral dan perilaku desktruktif lainnya. Secara umum kontraversial tersebut dapat digolongkan dalam tiga katagori, yaitu pertama, tayangan televisi dapat mengancam tatanan nilai masyarakat yang telah ada, kedua televisi dapat menguatkan tatanan nilai yang telah ada, dan ketiga televisi dapat membentuk tatanan nilai baru masyarakat termasuk lingkungan anak.

Acara Anak dan Film Kartun

Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan bisa ditonton anak-anak termasuk acara-acara yang ditujukan untuk orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara khusus untuk anak. Walaupun acara khusus anak tersebut masih sangat minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YLKI) (Mulkan Sasmita, 1997), persentase acara televisi yang secara khusus ditujukan bagi anak-anak relatif kecil, hanya sekitar 2,7 s.d. 4,5% dari total tayangan yang ada. Yang lebih menghawatirkan lagi ternyata persentase kecil inipun materinya sangat menghawatirkan bagi perkembangan anak-anak.

Tayangan televisi untuk anak-anak tidak bisa dipisahkan dengan film kartun. Karena jenis film ini sangat populer di lingkungan mereka, bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini. Jika kita perhatikan, film kartun masih didominasi oleh produk film import. Tokoh seperti Batman, Superman, Popeye, Mighty Mouse, Tom and Jerry, atau Woody Woodpecker begitu akrab di kalangan anak-anak. Begitu pula film kartun Jepang, seperti Dora Emon, Candy Candy, Sailoor Moon, Dragon Ball, dst. sangat populer dan bahkan mendominasi tayangan stasiun televisi kita. Sayangnya dibalik keakraban tersebut, tersembunyi adanya ancaman.

Jika kita perhatikan dalam film kartun yang bertemakan kepahlawanan misalnya, pemecahan masalah tokohnya cenderung dilakukan dengan cepat dan mudah melalui tindakan kekerasan. Cara-cara seperti ini relatif sama dilakukan oleh musuhnya (tokoh antagonis). Ini berarti tersirat pesan bahwa kekerasan harus dibalas dengan kekerasan, begitu pula kelicikan dan kejahatan lainnya perlu dilawan melalui cara-cara yang sama. Sri Andayani (1997) melakukan penelitian terhadap beberapa film kartun Jepang, seperti Sailor Moon, Dragon Ball, dan Magic Knight Ray Earth. Ia menemukan bahwa film tersebut banyak mengandung adegan antisosial (58,4%) daripada adegan prososial 41,6%).

Hal ini sungguh ironis, karena film tersebut bertemakan kepahlawanan. Studi ini menemukan bahwa katagori perlakuan antisosial yang paling sering muncul berturut-turut adalah berkata kasar (38,56%), mence-lakakan 28,46%), dan pengejekan (11,44%). Sementara itu katagori prososial, perilaku yang kerapkali muncul adalah kehangatan (17,16%), kesopanan (16,05%), empati (13,43%), dan nasihat 13,06%). Temuan ini sejalan dengan temuan YLKI, yang juga mencatat bahwa film kartun bertemakan kepahlawanan lebih banyak menam-pilkan adegan anti sosial (63,51%) dari pada adegan pro sosial (36,49%). Begitu pula tayangan film lainnya khususnya film import membawa muatan negatif, misalnya film kartu Batman dan Superman menurut hasil penelitian Stein dan Friedrich di AS menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikatagorikan anti sosial setelah mereka menonton film kartun seperti Batman dan Superman.

Perbedaan budaya, ideologi, dan agama negara produsen film dengan negara kita jelas akan mewarnai terhadap subtansi film tersebut. Karena film dimanapun tidak sekedar tontonan belaka, ia dapat membawa ideologi, nilai, dan budaya masyarakatnya. Misalnya, mungkin Satria Baja Hitam atau Power Ranger mempunyai andil besar atas terbentuknya sikap keberanian dan anti kezaliman. Tetapi keberanian yang dibutuhkan rakyat Indonesia dan anak Jepang jelas berbeda, paling tidak dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam keseharian masyarakat kita mensyaratkan keberanian ‘apa adanya’ tanpa tersembunyi dibalik kecanggihan teknologi. Sehingga diharapkan akan tertanam sikap berani dalam berkreasi sesuai dengan lingkungan di sekitarnya. Sebaliknya keberanian di Jepang dalam lingkungan masyarakatnya sudah ditunjang dengan teknologi yang canggih. Kondisi ini apabila dipandang sama, dihkawatirkan akan melahirkan generasi yang cengeng dan mudah menyerah.

Begitu pula aspek-aspek lain masih banyak yang kurang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan alam Indonesia. Program anak-anak memang diharapkan dapat menanamkan nilai, norma, krativitas, dan kecerdasan yang ‘membumi’ atau sesuai dengan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan jati diri dan budaya bangsa Indonesia, sehingga mereka menjadi bangga sebagai warga negara Indonesia.

Dampak Tayangan Televisi pada Anak

Gencarnya tayangan televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir masyarakat terutama para orang tua. Karena manusia adalah mahluk peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada anak-anak dan remaja. Kekhawatiran orang tua juga disebabkan oleh kemampuan berpikir anak masih relatif sederhana.

Mereka cenderung mengang-gap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku/tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak.

Para ahli psikologi menegaskan bahwa perilaku manusia pada hakekatnya merupakan proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi bahwa ia mahluk hidup. Sikap dan pola perilaku itu menurut pandangan behavioristik dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan lingkungan.. Bertolak dari pandangan ini, pembiasan dan pengukuhan lingkungan anak dapat dibentuk melalui tayangan televisi yang sesuai dengan nilai, norma, dan kerpribadian bangsa. Karena saat ini tayangan televisi setiap saat bisa ditonton anak-anak.

Masalahnya adalah sejauhmana dampak tayangan televisi tersebut berpengaruh terhadap terhadap perilaku masyarakat khususnya anak-anak. Untuk membuktikan kebenaran ini memang relatif sulit, karena perilaku anak (remaja) anak sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hasil studi yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 1972 dikeluarkan laporan berjudul Television and Growing Up The Impact of Televised Violence (dalam Dedi Supriadi, 1997) menunjukan gambaran bahwa korelasi antara tayangan tindakan kekerasan di televisi dengan perilaku agresif pemirsa yang umumnya anak muda ditemukan taraf signifikansinya hanya 0,20 sampai 0,30. Tingkat signifikansi sangat rendah ini tidak cukup menjadi dasar untuk menarik kesimpulan yang meyakinkan mengenai adanya hubungan lang-sung antara keduanya. Ini berarti tayangan tindakan kekerasan bisa saja berpengaruh terhadap sebagian penonton dan dapat juga netral atau tidak mempunyai pengaruh sekalipun.

Faktor Keluarga

Sebagian besar anak hidup di lingkungan keluarga. Pendidikan di keluarga akan memberi landasan bagi kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu perilaku anak sangat dominan dipengaruhi oleh ling-kungan keluarganya (Oos M. Anwas, 199. Beberapa pakar psikologi mengatakan bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, akan membekas dalam diri anak dan mewarnai kehidupannya kelak. Barangkali munculnya berbagai masalah remaja, seperti perkelahian, tawuran narkotika, dan premanisme lainnya bisa saja disebabkan kurang harmonisnya lingkungan keluarga saat ini yang cenderung meng-khawatirkan.

Yang lebih menarik adalah hasil studi pakar psikiatri Universitas Harvard, Robert Coles (dalam Dedi Supriadi, 1997). Temuannya menun-jukan bahwa pengaruh negatif tayangan televisi, justru terdapat pada keharmonisan di keluarga. Dalam temuannya, anak-anak yang mutu kehidupannya rendah sangat rawan terhadap pengaruh buruk televisi. Sebaliknya keluarga yang memegang teguh nilai, etika, dan moral serta orang tua benar-benar menjadi panutan anaknya tidak rawan terhadap pengaruh tayangan negatif televisi.

Lebih lanjut Cole menunjukan bahwa memperma-salahkan kualitas tayangan televisi tidak cukup tanpa mempertim-bangkan kualitas kehidupan keluarga. Ini berarti menciptakan keluarga yang harmonis jauh lebih penting ketimbang menuduh tayangan televisi sebagai biangkerok meningkatnya perilaku negatif di kalangan anak dan remaja.

Mungkin kita akan lebih yakin terhadap temuan Coles apabila mengkaji bagaimana proses pembentukan perilaku manusia. Pembentukan perilaku didasarkan pada stimulus yang diterima melalui pancaindra yang kemudian diberi arti dan makna berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan yang dimilikinya. Anak, sebagai individu yang masih labil dan mencari jati diri, sangat rentang dengan perilaku peniruan yang akhirnya akan terinternalisasi dan membentuk pada kepribadiannya. Tayangan televisi yang dilihatnya setiap saat masuk ke dalam otaknya.

Bagi anak yang berasal dari mutu kehidupan keluarganya baik, semua yang ia lihat di layar televisi dapat disaring melalui suasana keluarga yang harmonis, dimana orang tuanya bisa menjadi panutan. Komunikasi dan contoh orang tua dalam perilaku sehari-hari membuat benteng yang kokoh dalam membendung semua pengaruh buruk di layar televisi. Sebaliknya, anak yang berasal dari keluarga yang mutu kehidupan keluarganya rendah, semua tayangan di televisi sulit disaring, karena mereka belum bisa membedakan mana perilaku yang baik/buruk. Begitu pula dalam lingkungan keseharian di keluarganya tidak ditemukan sikap dan perilaku normatif yang dapat dijadikan filter tayangan televisi.

Idealnya, para orang tua selalu menjadi pendamping anak dalam menonton televisi. Acara-acara mana yang pantas ditonton mereka. Begitu pula mereka diberikan penjelasan mengenai adegan/peristiwa dalam film termasuk adegan fiktif. Namun masalahnya, apakah sanggup para orang tua mendapinggi putra putrinya nonton TV. Kini si keci dimungkinkan nonton TV setiap saat dengan berbagai acara termasuk film adegan kekerasan/sadisme. Semen-tara itu para orang tua sibuk dengan tugas pekerjaan sehari-harinya. Oleh karena itu benteng yang paling kuat adalah bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis. Komun-ikasi orang tua dan anak dituntut lancar dan berkualitas. Nilai, norma, dan ajaran agama dijadikan landasan hidup dalam keluarga. Kondisi seperti ini akan menjadi benteng yang kokoh bagi anak dalam menyaring gencarnya tayangan televisi.

Catatan Akhir

Media televisi dapat menyajikan pesan/objek yang sebenarnya termasuk hasil dramatisir secara audio visual dan unsur gerak (live) dalam waktu bersamaan (broadcast). Pesan yang dihasilkan televisi dapat menyerupai benda/objek yang sebenarnya atau menimbulkan kesan lain. Oleh karena itu media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat. Sementara itu persaingan di antara stasiun televisi semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Penonton televisi sangatlah beragam. Di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.

Gencarnya tayangan televisi yang berbau kekerasan, konsumtif, sadisme, erotik, bahkan sensual menimbulkan kekhawatiran para orang tua. Kondisi seperti ini sangatlah wajar, karena kini anak-anak mereka bisa menyaksikan acara televisi setiap saat. Tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya yang kini cenderung meningkat pada anak/remaja langsung menuding televisi sebagai biang keroknya. Tidak sedikit para orang tua mencacimaki/ protes terhadap tayangan televisi yang dirasakan kurang pas. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Mungkin kita (para orang tua) perlu merenungi temuan Coles, bahwa jauh lebih penting menciptakan keluarga yang harmonis dibandingkan menyalahkan tayang-an televisi, karena faktor keharmo-nisan keluarga bisa menangkal pengaruh negatif televisi. Di sini jelas perlu adanya keseimbangan antara keluarga (orang tua) dan pihak stasiun televisi. Keluarga dituntut untuk menciptakan keharmonisan keluarga. Menjaga komunikasi dan menanamkan nilai serta norma agama pada anak. Begitupun para pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggungjawab moral terhadap acara-acara yang ditayangkannya. Mereka hendaknya tidak sekedar mencari untung (kue iklan) terhadap acara yang ditayangkannya.

Stasiun televisi merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan sekaligus meningkatkan nilai dan norma-norma yang ada di masyarakat, termasuk mendidik anak-anak.

ritongapasuruan.blogspot.com

Seberapa Besar Sih Pengaruh TV?

Jika ada yang bertanya seperti itu, maka jawabannya adalah sangat sangat besar. Sejak munculnya TV, khususnya di Indonesia, rakyat kita sudah satu langkah digiring ke dalam aturan main media audio visual ini. Menurut sumber dari ANTARA NEWS, Anggota Komisi I DPR-RI dari F-PKS, Al Muzzammil Yusuf, menilai persoalan terbesar pada Industri pertelevisian adalah mereka terjebak pada standar rating penonton dan menomorduakan kualitas serta dampak tayangan.”Padahal sistem rating hanya mengukur jumlah pemirsa yang sedang menonton, tanpa memperdulikan suka atau tidak suka, bagus atau tidak bagus, serta logis atau tidak logis tayangan tersebut,” katanya di Jakarta.

Kita banyak yang tidak memperhatikan bahwa acara-acara yang di televisi sekarang hanya mementingkan rating daripada kualitas acara itu sendiri. Coba kita lihat acara di TV sekarang, lebih didominasi film-film yang tidak mendidik. Bahkan, acara untuk anak-anak tidak dibuat dengan isi cerita yang mendidik dan bersifat pembelajaran untuk anak-anak, melainkan adegan-adegan yang bersifat kasar dan keras.

Komisi Penyiaran Indonesia(KPI)dibentuk untuk mengawasi segala penyiaran yang dilakukan stasiun televisi di Indonesia. Hal itu sebagaimana telah diatur dalam U Penyiaran sebagai lembaga negara independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran (UU Penyiaran, pasal 7 ayat 2). Secara konseptual posisi ini mendudukkan KPI sebagai lembaga kuasi negara atau dalam istilah lain juga biasa dikenal dengan auxilarry state institution. Harapannya, pihak KPI bisa melaksanakan kewajibannya dengan lebih baik lagi dan saran saya, acara-acara yang sekiranya merupakan acara yang tidak mendidik atau berbau kekerasan, harap untuk di sosialisasikan agak publik dapat mengetahuinya.

chandra-ikom.blogspot.com

TV Hambat Perkembangan Bahasa Bayi


Bayi yang selalu terpajan pada suara televisi lebih mungkin menderita penundaan perkembangan bahasa dan tertinggal dalam perkembangan otak karena mereka mendengar lebih sedikit kata dari orangtua mereka dan kurang "berbicara".

"Kita telah mengetahui bahwa pajanan terhadap televisi selama kehamilan berkaitan dengan penundaan bahasa dan gangguan perhatian, tapi sejauh ini kondisi tersebut tetap belum jelas mengapa," kata pemimpin tim peneliti AS Dimitri Christakis, profesor di University of Washington.

"Televisi yang bersuara jelas mengurangi kata-kata bayi dan perawat mereka di dalam rumah dan ini mengandung potensi yang merugikan bagi perkembangan bayi," kata Christakis sebagaimana dilaporkan kantor berita resmi China, Xinhua.

"Studi ini adalah yang pertama yang memperlihatkan bahwa ketika televisi menyala ada pengurangan kata-kata di dalam rumah. Bayi kurang mengeluarkan kata-kata dan perawat mereka juga lebih jarang berbicara dengan mereka," katanya.

Studi tersebut, yang melibatkan 329 anak, meneliti bayi yang berusia dua bulan sampai empat tahun. Anak-anak itu memakai perekam kecil digital seberat dua ons yang seukuran kartu bisnis pada hari yang diacak per bulan sampai selama dua tahun.

Rompi yang dirancang khusus dengan kantung di dada menjadi tempat penyimpanan alat perekam tersebut dengan jarak tertentu dari mulut, dan merekam semua yang dikatakan anak itu dan juga terdengar selama waktu 12 sampai 16 jam terus-menerus.

Alat perekam itu hanya dipindahkan saat bayi tidur siang, mandi, tidur malam, dan naik mobil. Program piranti lunak pengenal ucapan memproses file rekaman dan untuk menganalisis suara anak terpajan pada lingkungan hidup mereka, serta suara dan ucapan yang mereka sampaikan.

Pengukuran dalam studi itu meliputi hitungan kata orang dewasa, ucapan anak, dan perubahan percakapan anak, yang didefinisikan sebagai interaksi verbal ketika seorang anak mengucapkan dan orang dewasa menanggapi mereka secara lisan --atau sebaliknya-- dalam waktu lima detik.

Studi tersebut mendapati bahwa setiap jam suara televisi berkaitan dengan pengurangan mencolok pengucapan oleh anak, rentang ucapan, dan perubahan percakapan.

Rata-rata, setiap jam pajanan telvisi juga berhubungan dengan penurunan 770 kata yang didengar anak dari orang dewasa selama kegiatan rekaman.

Itu mewakili penurunan tujuh persen kata-kata yang terdengar, secara rata-rata. Ada pengurangan besar dalam hitungan kata orang dewasa laki-laki dan perempuan. Dari 500 sampai 1.000 lebih sedikit kata diucapkan per jam oleh televisi. "Hasil ini mungkin menjelaskan hubungan antara pajanan bayi terhadap televisi dan terhambatnya perkembangan bahasa," kata Christakis. Studi tersebut disiarkan dalam jurnal Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine.

Sebanyak 30 persen rumah tangga di Amerika kini melaporkan menghadapi televisi setiap waktu, bahkan ketika tak ada orang yang menonton. Amercian Academy of Pediatrics menyarankan agar anak-anak yang berusia di bawah dua tahun tak diperkenankan nonton televisi dan pada saat yang sama mendesak diupayakannya permainan yang lebih interaktif.

antara

Tayangkan Langsung Silatnas SBY, 3 Stasiun TV Dipanggil Bawaslu

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memanggil 3 stasiun televisi untuk meminta klarifikasi terkait penyiaran acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Parpol Pendukung SBY-Boediono pada Sabtu, 30 Mei 2009 lalu. Hal ini dilakukan guna menindaklanjuti adanya laporan dugaan kampanye yang dilakukan kubu SBY-Boediono melalui ketiga media tersebut.

"Tadi kita minta klarifikasi terhadap laporan adanya dugaan kampanye SBY-Boediono yang disiarkan pada 30 Mei kemarin," ujar anggota Bawaslu Wirdyaningsih saat dihubungi detikcom, Selasa (2/6/2009).

Menurut Wirdyaningsih, ketiga stasiun tersebut diminta penjelasan mengenai dasar penayangan secara langsung acara SBY-Boediono, padahal sejak 29 Mei setiap capres-cawapres dilarang kampanye karena sudah ditetapkan sebagai capres-cawapres. Ketiga media tersebut adalah Metro TV, Trans 7, dan TVRI.

"Tadi ada Pak Elman Saragih (Metro TV), Ishadi SK (Trans TV), dan Direktur Pemberitaan (TVRI). Mereka membantah diperintah. Menurut mereka tayangan itu hanya dinilai dari sudut nilai jual beritanya saja," jelasnya.

Wirdyaningsih menambahkan, Bawaslu saat ini masih terus mengumpulkan bukti-bukti terkait adanya laporan ini. Termasuk memanggil pihak-pihak yang berkepentingan.

"Setiap ada laporan yang masuk kita harus mengklarifikasi, tidak bisa langsung memmberikan teguran, perlu mengkaji dilihat dari bukti-bukti yang ada. Jumat nanti kita juga akan panggil tim sukses SBY-Boediono," tandasnya. (detik.com)


Televisi yang Tayangkan Tontonan Tak Mendidik Harus Diberi Sanksi

Pimpinan Pusat (PP) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mendesak pemerintah memberikan sanksi tegas terhadap stasiun televisi yang masih menayangkan tontonan tak mendidik.

Ketua Umum PP IPNU, Idy Muzayyad, mengatakan hal itu kepada NU Online di sela-sela penyelenggaraan Lokakarya Pra-Kongres IPNU dan Ikatan Pelajar Putri NU di Jakarta, Kamis (27/5).

Menurut Idy, hingga kini masih banyak stasiun televisi yang menayangkan tontonan tak mendidik, seperti tontonan bernuansa kekerasan. Hal itu jelas sekali akan berakibat buruk pada anak-anak dan keluarga.

Ia menjelaskan, tayangan televisi di Indonesia yang dapat dikategorikan baik hanya mencapai 1-2 persen. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan di beberapa negara lainnya. “Di luar negeri, (tayangan yang baik dan mendidik) rata-rata mencapai 20-30 persen,” ujarnya.

Masyarakat, katanya, sudah merasa resah dengan semakin maraknya tayangan-tayang tersebut dikarenakan dampak buruknya sangat dirasakan, terutama di kalangan pelajar dan anak-anak. “Mulai dari tata karma yang hilang, berpacaran di sekolah, sampai membentuk geng sekolah, dan sebagainya,” tandasnya.

IPNU juga meminta pemerintah membuat peraturan yang menjamin adanya tayangan televisi yang baik untuk ditonton. “Diharapkan, aturan itu memuat larangan untuk menayangkan kekerasan dan pornografi di media massa,” pungkasnya.

Permasalahan tayangan televisi itu nantinya akan dibahas dan ditetapkan dalam Kongres IPNU di Brebes, Jawa Tengah, pada 20 Juni nanti. Hasilnya akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait, seperti DPR dan Komisi Penyiaran Indonesia.


duniatv.blogspot.com

Tayangan Saat Prime Time Seharusnya Program Mencerdaskan

Ada hal menarik yang diungkapkan dalam pertemuan rutin antara KPI Pusat dan Dewan Pers, yakni ide membuat aturan mengenai tayangan yang pantas disiarkan pada waktu jam-jam banyak pemirsa televisi atau prime time.

Hal ini dalam upaya menghindari dampak buruk pada anak-anak atau remaja dari tayangan yang tidak sehat pada prime time tersebut.

“Seharusnya jam-jam prime time diisi dengan tayangan-tayangan yang sehat, mencerdaskan dan mendidik penontonnya bukan malah sebaliknya. Ini kan tidak bagus bagi penonton terutama anak-anak dan remaja yang rentan terpengaruh,” ungkap salah satu anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi, pada pertemuan tersebut, Selasa (2/6), seperti yang dikutip dari situs KPI.

Bahkan, dalam kesempatan tersebut, Alamudi meminta dan berharap kepada KPI supaya membuat aturan mengenai program-program acara yang pantas ditayangkan dalam waktu-waktu jam padat ditonton pemirsa tersebut dalam peraturan KPI atau P3 dan SPS.

Sementara itu, ketika berlangsungnya pertemuan tersebut, sejumlah persoalan terutama terkait dengan program acara reality show dan infotainmen juga banyak dibahas oleh keduabelah pihak. Mengenai persoalan reality show, masing-masing anggota, baik itu KPI maupun Dewan Pers, banyak mengeluhkan program acara seperti ini.

Menurut mereka, program acara reality show yang ditayangkan ditelevisi bukanlah sebuah realitas tapi lebih sekedar dari rekayasa. Program ini, lanjut mereka, cenderung tidak mendidik dan mencerdaskan para penonton televisi. Meskinya, program-program seperti ini harus menjelaskan kepada pemirsa kalau tayangan ini tidak bersifat reality tapi sudah direkayasa.

Dalam pertemuan itu, anggota KPI Pusat diwakili langsung oleh Ketua KPI Pusat, Sasa Djuarsa Sendjaja dan anggota KPI Pusat lainnya, S. Sinansari Ecip.


duniatv.blogspot.com